Menjelang
musim haji, tulisan Junanto Herdiawan. yg diposting Prof. Hilman M., sekalipun
panjang tulisannya, menarik untuk dibaca.
Nice
true story....
Orang
Jepang Naik Haji
“Subarashi!
Subarashi!” atau “Luar Biasa!”, adalah kata yang berulangkali diucapkan oleh
Omar-san, orang Jepang dalam kloter haji kami. Kalimat itu diucapkannya saat
melihat Ka’bah dan melakukan gerakan memutarinya selama tujuh kali (thawaf).
Bersama dengan Omar-san, ada 10 orang Jepang lain yang ikut berangkat haji
tahun ini dari rombongan jamaah haji embarkasi Jepang.
Bagi
Omar-san, yang baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu, ini adalah kali
pertamanya ia naik haji. Ia begitu kagum dan terkesima dengan masifnya jumlah
jamaah haji dari berbagai penjuru dunia yang datang pada saat bersamaan dan
melakukan ritual haji yang sama. Omar-san, yang tidak mau memberitahukan pada
saya nama asli Jepangnya, menganggap ada satu kekuatan besar yang mampu membawa
berjuta-juta orang tersebut secara sukarela untuk datang ke tanah suci ini. Hal
itulah yang membuatnya terpana di depan Ka’bah.
Berangkat
haji bersama orang Jepang adalah hal yang menarik bagi saya. Bagaimana tidak,
selama tinggal di Jepang, saya jarang melihat orang Jepang yang beragama Islam
(ataupun beragama lainnya, seperti Kristen atau Yahudi). Kebanyakan orang
Jepang memang tidak memilih satu agama tertentu. Mereka kebanyakan menganut
ajaran Shinto yang lebih bersifat budaya ketimbang sebuah agama.
Di
sisi praktis sehari-hari, sebenarnya orang Jepang sudah berperilaku lebih dari
orang beragama. Mereka sangat santun, sabar, bersih, tekun, disiplin, dan
tertib dalam bermasyarakat. Semua ajaran agama yang menganjurkan kebaikan dan
perilaku terpuji telah mereka terapkan tanpa harus memeluk suatu agama
tertentu. Hal itu bisa dilihat secara nyata dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Mereka tertib mengantri, berlalu lintas dengan santun, menjaga fasilitas umum
tetap rapi dan bersih, membuang sampah di tempatnya, dan saling membantu dengan
tulus.
Kisah-kisah
pasca tsunamii dan bencana gempa bumi pada Maret 2011 lalu menjadi sekian
banyak contoh tentang tingginya adab dan perilaku masyarakat Jepang.
Di
negeri yang beragama sekalipun, saat bencana, perilaku yang muncul kadang tidak
agamis (menumpuk barang kebutuhan pokok, menjarah, menaikkan harga semena mena,
dan saling merugikan sesama). Hal itu tidak terjadi di Jepang saat bencana
tsunami lalu.
Agama,
memang datang ke dunia untuk memperbaiki akhlak, atau perilaku manusia.
Sayapun
bertanya pada Omar-san, apabila akhlak di masyarakat sudah baik, masih perlukah
orang Jepang memeluk agama.
Menurutnya,
Jepang memang sebuah masyarakat yang tertata baik dan aplikatif dari ajaran
agama. Namun pada ujungnya, manusia tetap membutuhkan tambatan hati. Sebuah
oase tempat mengadu dalam keadaan sendiri, baik suka maupun duka. Sebuah tautan
kala sedang dirundung beragam masalah dan tekanan dunia. Tanpa agama, berbagai
pelarian dicari oleh orang Jepang untuk mencari ketenangan hati. Jadi, menurut
Omar san, orang Jepang masih memerlukan agama.
Hal
itulah yang melatarbelakangi Omar-san untuk memeluk agama. Ia mengatakan bahwa
setelah beragama, ia menemukan ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Meski
demikian, banyak orang yang bertanya padanya, tidakkah sulit menjadi Islam di
Jepang.
Permasalahan
bagi orang Jepang dalam memeluk Islam bukan pada masalah ideologi, namun lebih
pada urusan praktikalitas ritual. Menjalankan ibadah sholat sebanyak lima kali
sehari, puasa selama sebulan, dan melaksanakan ibadah haji, adalah aktivitas
yang sangat sulit dilakukan dalam lingkungan orang Jepang.
Bangsa
Jepang adalah pekerja keras. Kalau kita bekerja di perusahaan Jepang misalnya,
sulit mendapat dispensasi ijin sholat pada waktunya, apalagi cuti melakukan
ibadah haji. Nyaris mustahil untuk dikabulkan. Belum lagi soal pilihan makanan
halal yang amat jarang didapatkan di Jepang.
Namun
berbeda dengan dunia barat yang memiliki prejudice tentang Islam, di Jepang
pandangan masyarakat tentang Islam secara umum tidak seburuk di barat. Bagi
orang Jepang, agama apa saja dipandang baik, karena ajaran setiap agama adalah
mengarah pada kebaikan. Oleh karena itu, Islam lebih gampang diterima banyak
orang Jepang.
Omar-san
sendiri beruntung. Ia adalah Presiden Direktur (Sachoo) sebuah perusahaan
konstruksi yang dimilikinya sendiri. Perusahaannya tergolong besar di daerah
Kasugai, Aichi-Ken, di sekitar kota Nagoya. Jadi, ia bisa mengatur masalah
praktikalitas ritual agama, termasuk saat ia memutuskan naik haji bersama
istrinya, yang juga orang Jepang.
Selain
Omar-san, ada dua orang Jepang lainnya yang sering berdiskusi dengan saya saat
ibadah haji kemarin. Kebetulan saya tinggal satu tenda dengan mereka, saat di
Mina maupun saat wukuf di Arafah. Mereka adalah Saif Takehito dan Muhammad
Syarief. Keduanya telah mengganti atau mencampur nama asli Jepangnya dengan
nama Islam.
Saif
Takehito adalah seorang diplomat Jepang yang bekerja di Kedutaan Besar Jepang
di Dubai. Ia jago berbahasa Arab dan ahli membaca Al Qur’an (saya saja sampai
minder mendengar ia membaca Qur’an). Sementara Muhammad Syarief adalah seorang
wirausaha yang tinggal di Tokyo.
Karakter
dan kultur dari orang Jepang yang baik dan santun tersebut, tercermin saat
mereka menjalankan ibadah haji.
Dalam
kondisi apapun, mereka tetap diam dan sabar. Persis saat mereka menghadapi bencana
alam bulan Maret lalu.
Tekanan
terbesar dari ibadah haji adalah soal kesabaran. Mulai dari kedatangan di Arab,
prosesi ibadah, kehidupan sehari-hari, hingga kembali ke Jepang, ujian
kesabaran datang silih berganti. Banyak dari kita yang kadang lepas kontrol,
lalu marah-marah dan malah beradu mulut dengan jamaah lain. Tapi saya melihat
para jamaah haji dari jepang memiliki kesabaran yang tinggi. Padahal mereka
dihadapkan pada kondisi yang bertolak belakang dengan keadaan negaranya yang
tertib dan teratur.
Suatu
malam di Mina, terjadi kekacauan di maktab (kelompok tenda) kami. Saat kembali
dari melempar jumrah, tenda rombongan kami dipindahkan pengelola maktab tanpa
sepengetahuan kita semua. Akibatnya, barang-barang kami semua tercecer, bahkan
ada yang kehilangan peralatan-peralatan personalnya.
Beberapa
jamaah haji dari negara lain ada yang marah-marah dan menyalahkan panitia
karena tidak menjaga barangnya. Ada yang menuding-nuding panitia, bahkan sampai
ingin menuntut ganti rugi. Salah satu jamaah malah hampir beradu mulut dengan
saya, karena ia menganggap saya tidak memberi lokasi tempat tidur untuknya.
Masya
Allah!
Mereka
sampai harus ditenangkan oleh kita semua yang ada di tenda, “Sabar haji…
Sabar.. Istighfaar.. This is Hajj”. Barulah kemudian mereka mengucapkan
istighfar dan meminta maaf pada kita semua karena menimbulkan kekacauan di
tenda.
Sementara
itu saya melihat Muhammad Syarief kehilangan sleeping bag-nya malam itu. Ia
hanya celingak celinguk saat banyak jamaah protes. Tapi ia diam saja tanpa
protes dan tidak mengeluh. Padahal kakinya bengkak karena melepuh saat berjalan
di Mekah sebelumnya. Ia malah menggelar handuk dan tidur langsung di karpet
dalam diam. Simpati jamaah di tenda kami pun diarahkan pada dirinya. Kamipun
meminjamkannya sleeping bag, memberinya obat dan makanan, serta menawarkan
lokasi tidur yang nyaman. Semua jamaah simpati pada kesantunan orang Jepang
ini.
Hal
serupa saya perhatikan dari diri Saif Takehito. Suatu malam kita harus menunggu
di Arafah hingga menjelang tengah malam. Saat itu ada kecelakaan bis sehingga
semua jalan menuju Muzdalifah ditutup. Akibatnya, bis rombongan kita tertunda
keberangkatannya ke Muzdalifah.
Banyak
jamaah di kelompok kami yang beradu mulut dan berdebat. Mereka merasa harus
tiba di Muzdalifah sebelum tengah malam dan melakukan sholat dua rakaat, sesuai
sunah Nabi. Pimpinan rombongan mengatakan bahwa dalam kondisi darurat, sholat
bisa dilaksanakan di Arafah. Tapi banyak jamaah yang tidak terima, perdebatan
pun terjadi bahkan cenderung memanas.
Saif
Takehito saya lihat hanya duduk saja di bawah pohon sambil berulangkali
melafazkan nama-nama Allah (berdzikir). Saat saya tanya bagaimana pendapatnya,
Saif berkata banyak hal yang terjadi di luar kehendak manusia, kita sebagai
manusia tak bisa berbuat apa. Semua kehendak Allah. Jadi janganlah kita saling
berbantahan, kita harus bersabar dan ikuti perintah pimpinan kita. Masya Allah,
kita semuapun jadi malu oleh ucapan dari orang Jepang yang notabene baru
memeluk Islam tersebut.
Meski
orang Jepang dihadapkan pada suasana yang jauh berbeda dengan negerinya, mereka
ternyata bisa memahami dan tetap bersikap sabar. Mereka tidak mengeluh dan
menyalahkan keadaan.
Hal
tersebut memberi saya sebuah kesadaran, bahwa keber-agama-an bukan semata soal
pengetahuan. Akhlak dan perilaku baik, terbentuk bukan saja dari pengetahuan,
tapi lebih pada kebiasaaan.
Orang
Jepang sejak kecil sudah dibiasakan dan dididik berbuat baik, sabar, dan
memerhatikan kepentingan orang lain. Di sekolah, di rumah, di masyarakat,
ajaran dan yang dilihat sama. Sementara banyak orang beragama yang hanya
diajarkan dan diminta menghafalkan cara berbuat baik dan sabar.
Itulah
sebabnya dulu Nabi senantiasa berkata, “Biasakanlah berbuat baik, biasakanlah
berbuat baik…” Bukan menghafal perbuatan baik, tapi membiasakan berbuat baik.
Tentu tujuannya agar kita menjadi orang baik, yang sebaik-baiknya.
Source:
Kompasiana, Junanto Herdiawan
0 Response to "Orang Jepang Naik Haji"
Posting Komentar